NU-Negara Nasional dan Formulasi KH Achmad Siddiq


Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, dalam Muqaddimah Qanun Asasi mengemukakan, “Mereka mengajak kepada Kitab Allah, padahal sedikit pun mereka tidak bertolak dari sana. Mereka tidak berhenti sampai di situ, malahan mereka mendirikan perkumpulan (organisasi) bagi kegiatan mereka tersebut. Maka kesesatan pun semakin jauh. Orang-orang yang malang beramai-ramai memasuki perkumpulan itu.”

Kalimat-kalimat itu ditujukan Hadratussyekh untuk mengingatkan kepada umat Islam, khususnya warga Ahlussunnah wal Jama’ah an- Nahdliyah, untuk tidak terjun dalam lautan fitnah, apalagi ikut mengobarkannya. Beliau mengatakan: “Sementara itu ada segolongan orang yang terjun ke dalam lautan fitnah.” Jelas disadari, umat Islam Indonesia tidak lepas dari terkaman api fitnah yang merajalela, baik dulu atau sekarang. Dalam konteks itu, Hadratussyekh mengingatkan, akan banyak orang mengutip Al-Qur’an dan mengajak kepada Al-Kitab, tetapi sejatinya mereka tidak berpijak dari sana.

Oleh karena itu, Hadratussyekh mengingatkan, “Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan, dan kegagalan sepanjang zaman,” dan fitnah adalah bagian dari sumber dari perpecahan itu.

Tentang fitnah yang sudah merajalela itu, juga menggerus Muslimin Indonesia, dan khususnya ditujukan kepada masyarakat NU, yaitu yang hubungannya dengan negara dan dasar Negara. Tidak hanya belakangan ini saja, tetapi juga sudah sejak lama ketika Republik ini telah berdiri. Digambarkan bahwa negara yang seperti NKRI dengan dasar Pancasila ini adalah tidak mencerminkan Islam. Pemerintah adalah thaghut dan yang mendukungnya adalah pembela thaghut. Ending - nya mereka berkampanye untuk mendirikan khilafah mengganti negara nasional dan Pancasila, sebagian menginginkan negara Islam dan mengulang tradisi Kartosoewirjo, dan sebagian membayangkan ingin perang Suriah segera terjadi dan daulah islamiyah seperti ISIS berdiri, dan hal-hal lain lagi.

Tulisan ini berusaha memenuhi permintaan dari sebagai sahabat-sahabat dan santri-santri pesantren yang menginginkan jawaban dari kemelut fitnah yang membuncah itu: bagaimana NU melihat dasar negara dan asas Pancasila? Karenanya fokus dari tulisan ini adalah NU dan dasar negara, yang dengan sendirinya juga membicarakan bentuk negara nasional dan hubungannya dengan agama.

Paling tidak, bagi sahabat-sahabat kami, adik-adik kami, orang-orang tua kami, dan saudara-saudara kami, semoga memberi manfaat meski hanya secuil. Agar yang bimbang kembali kokoh, yang kokoh merapatkan barisan, yang telah merapatkan barisan agar ikut terjun dalam jihad di dalam segala lapangan kehidupan untuk mengokohkan bangunan yang telah ada, dan mengisinya untuk menjaga dan memelihara NKRI- Pancasila-UUD 1945, dengan semangat dan ruh Ahlussunnah wal Jama’ah an- Nahdliyah.

Menurut para founding fathers NU, Islam yang diperjuangkan fiddin waddunya wal akhirah dinamakan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, yang mengakui empat madzhab fiqih yang berkembang (Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali), bertasawuf menurut tradisi Imam Junaid, Imam al-Ghazali dan imam-imam lain di lingkungan Ahlussunnah wal Jama’ah, dan beri’tiqad mengikuti jalan Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar NU dalam berbagai periode tahun. Oleh generasi berikutnya, hal ini kemudian disebut Ahlussunnah wal Jama’ah an- Nahdliyah, Ahlussunnah wal Jama’ah yang berlaku di lingkungan NU, yang berpijak dalam konteks masyarakat Indonesia dan Nusantara.

Islam yang demikian, oleh KH Achmad Siddiq kemudian diformulasi dengan nama Islam rahmatan lil `alamin, jauh sebelum Gus Dur mengemukakan istilah-istilah Islam rahmatan lil `alamin dalam tulisan-tulisannya.

KH Achmad Shidiq mengatakan: “Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi Muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam, serta mengembangkannya sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmat bagi seluruh alam” (KH Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, hlm. 12). Rais Am PBNU tahun 1984-1991 itu, juga menegaskan bahwa ciri-ciri diniyah Nahdlatul Ulama itu tercermin pada beberapa hal, di antaranya: “Bercita-cita keagamaan, yaitu izzul islam wal muslimin menuju rahmatan lil`alamin.” (hlm. 15).

Islam rahmatan lil`alamin itu, penamaannya mengambil dari banyak ayat Al-Qur’an yang menyebutkan di antaranya wama arsalnaka illa rahmatan lil`alamin (QS. Al-Anbiya ayat 107).

Dalam ayat ini, terdapat beberapa riwayat yang menyebut Nabi sebagai rahmat yang membentang dan rahmat untuk sekalian alam. Di antara beberapa riwayat itu disebutkan dalam Tafsir Durrul Mantsur fi Tafsir al- Ma’tsur, yaitu riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah berkata: “Dikatakan kepada Rasulullah: ud`u `alal musyrikin. Nabi ber sabda: “inni lam ub`ats la’anan, wainnama buitstu rahmatan”; hadits lain dikeluarkan al- Baihaqi dalam ad- Dala’'il dari Abu Hurairah dengan kata: “innama ana rahmatun mahdatun”; ada juga hadis dari Ibnu Hamid dari Ikrimah berkata: “Dikatakan kepada Nabi Muhammad: “Ya Rasulallah ala tal`anu quraisyan bima atau ilaika.” Nabi bersabda: “Lam ub`ats la`anan, innama buitstu rahmatan”; dan juga diriwayatkan oleh Imam athThayalisy, Ahmad, Thabrani, dan Abu Nuaim dalam ad-Dala’ il, dari Abu Umamah berkata: “Berkata Rasulullah Saw.: “Innallaha ba`atsani rahmatan lil `alamin wa hudan lilmuttaqin” (Jalaluddin as- Suyuthi, Durrul Man tsur fi Tafsir al-Ma’tsur, Jilid X, hlm. 405-406).

Menyimak dari hadits-hadits Nabi itu, ketika diminta melaknat dan mencaci orang-orang Quraisy, justru Nabi Muhammad menimpali: “Saya tidak diutus sebagai caci maki (tidak untuk mencaci maki), tetapi sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat (untuk menebarkan kasih sayang).” Islam yang diajarkan itu adalah Islam yang mengedepankan akhlak mulia, bukan hanya pada dimensi apa yang diperjuangkan di mana Islam itu memang mulia, tetapi juga cara-cara memperjuangkan pun dengan akhlak yang mulia.

Oleh KH Achmad Siddiq watak dan ciri-ciri Islam rahamatan lil `alamin itu, disebutkan oleh Al-Qur’an sendiri yang kemudian disimpulkan dengan tiga hal penting: at-tawasuth (QS. Al-Baqarah  ayat 143), al-i’tidal (al- Ma’idah ayat 9), dan at-tawazun (QS. Al-Hadid ayat 25). Di dalam Khittah NU kemudian ditambah lebih lengkap dengan at- tasamuh, dan amar ma’ruf nahi munkar, yang sebelumnya dilengkapi juga dengan Mabadi’ Khaira Ummah (MKU) yang digagas KH Mahfudz Siddiq, yaitu ash-shidqu, al-amanah wa al-wafa bil `ahdi, dan at-ta`awun (disetujui Muktamar NU tahun 1937), yang ditambah pada Muktamar NU tahun 1992 di Lampung dengan dua hal penting, yaitu al-`adalah dan al-istiqamah.

Bentuk dari implementasi sikap at-tawasuth di dalam masalah kenegaraan, menurut KH Achmad Siddiq, tercermin dari sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama yang melihat bahwa: (1) Negara nasional yang didiri kan bersama oleh seluruh nasion/ rakyat wajib dijaga dan dipelihara eksistensinya; (2) Penguasa Negara yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, atau memerintah ke arah yang tidak bertentangan dengan hukum Allah; (3) Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tatacara yang sebaik-baiknya (KH Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, hlm. 66).

Meski begitu haruslah disadari bahwa peran NU dalam merumuskan dasar negara dan pandangannya dalam bentuk kenegaraan, mengalami proses panjang, baik di dalam adu argumentasi ataupun dalam sejarah politiknya, termasuk dalam riak-riak kecil dan besarnya di tengah gejolak Geosospolek bangsa Indonesia. Dari sudut ini bisa dilihat dari peran NU dalam merumuskan pandangan kenegaraan sebelum Republik Indonesia berdiri, pada masa pendirian bangsa zaman BPUPKI-PPKI, setelah itu dalam perdebatan tahun 1955 di sidang Konstituante, penerimaan Pancasila dan UUD 1945 di dalam Dekrit Presiden Soekarno, dan kemudian sampai pada perumusan dalam soal Pancasila dan asas Pancasila di Munas Alim Ulama tahun 1983 dan Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo.

Dari sejumlah peristiwa sejarah itulah, kemudian para kyai NU memberikan argumentasi dan formulasi argumentatifnya, agar bisa dimengerti generasi-generasi baru, seperti yang dilakukan KH Achmad Siddiq, KH Muchit Muzadi, KH Abdurrahman Wahid, KH Masdar Farid Mas`udi, dan banyak tokoh lain. Wallahu a’lam.

Sumber