Menjawab Penggugat Shalawat Nariyah

Oleh KH Ma’ruf Khozin


Peringatan Hari Santri 22 Oktober, PBNU memprakarsai banyak kegiatan, di antaranya pembacaan 1 milar Shalawat Nariyah. Dari sinilah, kemudian sebagian pihak ‘menggugat’ shalawat tersebut, baik yang menuding ada unsur syirik, bukan berasal dari Nabi, dan sebagainya.

Berikut akan kami jelaskan masing-masing poin yang dihujat dalam Shalawat Nariyah serta kami jelaskan bantahannya;

Sayidina Muhammad
Kalau yang dipermasalahkan karena dalam Shalawat Nariyah ada sayidina, maka menyebut Rasulullah dengan sayid pun sudah disampaikan sahabat Nabi dengan sanad yang sahih:


حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ : " أَنَّهُ كَانَ إِذَا دُعِيَ لِيُزَوِّجَ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ إِنَّ فُلَانًا يَخْطُبُ إِلَيْكُمْ فَإِنْ اَنْكَحْتُمُوْهُ فَالْحَمْدُ للهِ وَإِنْ رَدَدْتُمُوْهُ فَسُبْحَانَ اللهِ " صحيح . أخرجه البيهقي 7 / 181 (إرواء الغليل - ج 6 / ص 221)

Jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: “Alhamdulillah, semoga Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha Suci Allah” Riwayat al-Baihaqi 7/181. Syekh Albani berkata: “Sahih” (Irwa’ al-Ghalil, 6/221). Dalam hal ini, Albani saja menyebut sahih. Apalagi ulama-ulama Aswaja.

Shalawat Bukan dari Rasulullah
Jika yang menjadi keberatan karena Shalawat Nariyah bukan dari Rasulullah, maka Syekh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Syekh Ibn Taimiyah telah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya Jala’l Afham fis Shalat was-Salam ‘ala Khairil Anam. Antara lain shalawat yang disusun oleh:

- Abdullah bin Mas’ud:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.

“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, penutup seluruh Nabi, Muhammad, hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di tempat terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir” (Jala’ al-Afham 36)

- ‘Alqamah An-Nakha’i, seorang tabi’in:


صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. 

“Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham 75)

- Imam al-Syafi’i sebagai berikut:

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ. 

“Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya.” (Jala’ al-Afham 230).

Demikian beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syekh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Jala’l Afham fis Shalat was-Salam ‘ala Khairil Anam. Hal tersebut kemudian dilanjutkan para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat sehingga lahirlah Shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, Al-Fatih, Al-Munjiyat dan lain-lain.

Tawassul dengan Rasulullah
Jika penolakannya karena shalawat ini mengandung tawassul, maka berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya (HR at-Tirmidzi), lalu oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk masalah yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani).

Dari sini banyak para ulama berpendapat bahwa bertawassul dengan Nabi adalah diperbolehkan. Demikian halnya doa tawassul dalam Shalawat Nariyah ini. Berikut pendapat para ulama yang memperbolehkan:

أَوَّلُهَا : أَنْ يَسْأَلَ اللّهَ بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ تَفْرِيْجَ الْكُرْبَةِ ، وَلَا يَسْأَلَ الْمُتَوَسَّلَ بِهِ شَيْئاً ، كَقَوْلِ الْقَائِلِ : اللَّهُمَّ بِجَاهِ رَسُوْلِكَ فَرِّجْ كُرْبَتِي . وَهُوَ عَلَى هَذَا سَائِلٌ للّهِ وَحْدَهُ ، وَمُسْتَغِيْثٌ بِهِ ، وَلَيْسَ مُسْتَغِيْثاً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ . وَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الصُّوْرَةَ لَيْسَتْ شِرْكاً ، لِأَنَّهَا اسْتِغَاثَةٌ بِاللّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، وَلَيْسَتْ اسْتِغَاثَةً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ ؛ وَلَكِنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِي الْمَسْأَلَةِ مِنْ حَيْثُ الْحِلُّ وَالْحُرْمَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ : الْقَوْلُ الْأَوَّلُ : جَوَازُ التَّوَسُّلِ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ حَالَ حَيَاتِهِمْ وَبَعْدَ مَمَاتِهِمْ . قَالَ بِهِ مَالِكٌ ، وَالسُّبْكِيّ ، وَالْكَرْمَانِيّ ، وَالنَّوَوِيّ ، وَالْقَسْطَلاَّنيّ ، وَالسُّمْهُوْدِيّ ، وَابْنُ الْحَاجِّ ، وَابْنُ الْجَزَرِيّ . (الموسوعة الفقهية الكويتية - ج 5 / ص 22)

Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama adalah meminta kepada Allah dengan perantara (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada perantara suatu apapun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”.

Dalam masalah ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara. Ulama fikih sepakat bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik sebab hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya, menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama adalah boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik ketika mereka hidup atau sesudah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).

Sementara yang melarang tawassul adalah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja.

Pengarang Shalawat Nariyah
Jika beralasan karena ketidakjelasan siapa pengarangnya, maka Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah yang digelari Allamah Ad-Dunya, mendapat sanad yang sempurna dari gurunya Syekh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadis dari Maroko, yang sampai kepada Muallif Shalawat Nariyah, Syekh Ahmad At-Tazi Al-Maghribi (Maroko). Semuanya menerima sanad secara musyafahah, menyampaikan bacaan shalawat tersebut dari guru kepada muridnya secara langsung. (Ijazah dari Dr. Abd Qadir Muhammad al-Husain, dosen di Universitas Damasqus, Syria).

Nama Shalawat Nariyah
Jika keengganannya karena faktor nama ‘nar’, maka nama ini memang populer dengan sebutan Nariyah, meski kata ‘nar’ tidak terdapat dalam teks shalawat tersebut, yang biasanya diambil dari bagian kalimat di dalamnya. Ketika ada sebagian orang menganggap bahwa makna ‘nar’ adalah neraka, ‘iyah’ adalah pengikut, yang disimpulkan ‘pengamal Nariyah’ adalah pengikut ahli neraka, maka sangat tidak tepat. Sebab nar juga memiliki makna api, sebagaimana dalam ayat:

إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آَتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى [طه/10]

“Ketika ia (Musa) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (Thaha: 10)

Menurut Syekh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah karena terjadi tashif atau perubahan dari kata yang sebenarnya Taziyah. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam tulisan Arab, yaitu النارية dan التازية yang berbeda pada titik huruf. Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya.

Sementara dalam kitab Khazinatul Asrar, sebuah kitab yang banyak memuat ilmu tasawwuf dan tarekat karya Syekh Muhammad Haqqi Afandi an-Nazili, disebutkan bahwa Syekh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan nama Shalawat Tafrijiyah, yang diambil dari teks yang terdapat di dalamnya yaitu (تنفرج). Demikian halnya Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal Ash-Shalawat ala Sayidi As-Sadat pada urutan ke 63.

Wa akhiran...

Semua syubhat (propaganda) dalam Shalawat Nariyah telah kita ketahui dalilnya, sehingga boleh kita amalkan. Akan tetapi, jika penolakannya, keengganannya dan keberatannya karena kebencian kepada kami para santri, maka tak cukup 1000 dalil untuk memuaskan dahaga kebencian mereka.


Sumber