Sebagaimana firman Allah bahwa shalat bagi orang mukmin
adalah kewajiban yang waktunya sudah ditentukan. Orang mukmin sendiri dalam
menjalankan kewajiban itu terkadang karena suatu hal yang sangat mendesak tidak
dapat menjalankan sesuai alokasi waktu yang ditentukan syariat. Dari sinilah
kemudian muncul istilah ada’, qadha’ dan i’adah.
Dalam pengertiannya shalat ada' diartikan dengan menjalankan
shalat dalam batas waktu yang telah ditentukan. Termasuk dalam ada' menurut
madzhab Hanafiyah apabila seseorang mendapatkan kira-kira sekedar takbiratul
ihram di akhir waktu shalat. Sementara Syafi’iyyah berpendapat bahwa seseorang
itu shalat ‘ada apabila mendapatkan satu rakaat sebelum berakhir waktunya.
Sedangkan qadha’ diartikan dengan melaksanakan shalat di
luar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena
unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak memunginkan dalam pelaksanaan
shalat tersebut.
Ditinjau dari sisi hukum, sebenarnya antara qadha’ dan ada’
adalah sama, yaitu sama-sama wajib sebagaimana diungkapkan al-Imam Abu Hamid
bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya, fawatikhu rakhamut bahwa
kewajiban itu ada dua yaitu ada’ dan
qadha’. Hanya saja pelaksanaan dan nilainya yang berbeda. Yang satu
dilaksanakan tepat waktu, yang satu tidak tepat waktu, sehingga berdosa. Tetapi
terlepas berdosa atau tidak, qadha’ adalah tindakan indisipliner yang akan
mengurangi nilai seorang hamba dengan Tuhannya.
Lalu bagaimana dengan i’adah?
Menurut istilah para fuqaha, i’adah diartikan dengan
menjalankan shalat yang sama untuk keduakalinya pada waktunya atau tidak.
Karena dalam shalat yang pertama terdapat cacat atau ada shalat kedua yang
lebih tinggi tingkat afdhaliyahnya.
Shalat i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunnah. I’adah
yang wajib diantaranya apabila seseorang tidak menemukan atau memiliki sesuatu
yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam kondisi waktu yang terbatas,
ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib i’adah pada waktu
yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bersuci. Hal
ini mengingat bersuci adalah syarat shalat. (Fawatikhu Rakhamut: I, 36,
Al-Majmu’: 3, 132)
Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat
meskipun telah berijtihad kecuali ijtihad itu dengan melaksanakan shalat
keempat arah. (al-Majmu’: III, 304). Begitu pula dengan seseorang yang
melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka wajib i’adah sebagaimana
disampaikan Qadhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid al-Ghazali.
Adapun yang tidak wajib i’adah seperti seorang yang tanpa menutup sebagian
atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan yang sunnah
i’adah adalah apabila ada shalat kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang
sudah shalat sendirian atau berjama’ah. Kemudian dalam waktu yang tidak lama
ada jamaah yang lebih banyak, maka ia disunahkan i’adah mengikuti jama’ah yang
kedua.
Dengan demikian, shalat i’adah tidaklah seperti shalat
ada’ atau qadha’. Pertama, i’adah tidak
berfungsi menggantikan shalat sebelumnya, karena pada prinsipnya shalat yang
pertama adalah shalat yang sah. Kedua, i’adah ada yang wajib dan ada yang
sunah. Hal ini tidak seperti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib.
Ketiga, shalat i’adah yang belum dilaksanakan, karena pelakunya keburu
meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut seperti shalat qadha’ yang belum
dilaksanakan.